Saturday, January 26, 2013

Hudzaifah bin al-Yaman


Hudzaifah bin al-Yaman

            “Jika kau mau, kau bisa masuk Muhajirin. Dan jika kau mau juga, kau bisa masuk Anshar. Pilihlah dari keduanya yang kau sukai.”
            Kalimat ini dilontarkan Rasulullah SAW kala betemu untuk pertama kali dengan Hudzaifah di Mekah.
            Ada cerita di balik pilihan yang diberikan Rasulullah kepada Hudzaifah bin al-Yaman untuk menjadi bagian dari salah satu dari dua golongan paling mulia di antara kaum Muslimin itu.
            Ayah Hudzaifah, al-Yaman, adalah seorang penduduk Mekkah dari suku 'Abs. Tetapi suatu hari dia menumpahkan darah salah seorang penduduk Mekkah lain. Dia kemudian harus melarikan diri ke Yatsrib. Di Yatsrib, dia berlindung pada suku Abdul Ashal. Tak lama kemudian, dia menikahi seorang perempuan dari suku tersebut. Dari pernikahan tersebut lahirlah Hudzaifah.
            Kian hari hambatan-hambatan yang menghalanginya untuk memasuki Mekkah kian sirna. Ayah Hudzaifah menjadi bingung antara kembali ke Mekkah atau tetap di Yatsrib. Dia sudah terlalu lama tinggal di Madinah dan sudah akrab dengan kota itu.
            Saat cahaya Islam memancar ke seluruh Jazirah Arab, al-Yaman termasuk dari sepuluh orang dari suku 'Abs yang pergi menghadap Rasulullah SAW. dan menyatakan diri masuk Islam di hadapan beliau. Kejadian ini berlangsung sebelum beliau berhijrah ke Madinah. Dari sinilah Hudzaifah, sang anak, disebut orang Mekkah (tanah air orangtuanya), sekaligus orang Madinah (tanah kelahiran dan tumbuh besarnya).
*****
            Hudzaifah tumbuh di tengah-tengah keluarga yang taat. Dididik di pangkuan kedua orang tua yang bersegera memeluk agama Allah. Hudzaifah sendiri memeluk Islam sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.
*****
            Keinginan Hudzaifah untuk betemu Nabi sangat besar. Sejak memeluk Islam dia selalu menanti berita tentang beliau. Dia terus bertanya kepada orang di sekitarnya tentang sifat-sifat beliau. Hal ini  kian menambah kerinduan dan kecintaannya tehadap beliau.
            Pada suatu hari, datanglah kesempatan Hudzaifah berangkat ke Mekkah untuk menemui beliau. Saat bertemu dia menyempatkan bertanya, “Rasulullah, apakah aku orang Anshar atau orang Muhajirin?”
            “Jika mau, kau bisa termasuk orang Muhajirin,” jawab Nabi. “Jika kau mau, kau bisa masuk Muhajirin. Dan jika kau mau juga, kau bisa masuk Anshar. Pilihlah sesuka hatimu.”
            “Aku orang Anshor, Rasulullah,” jawab Hudzaifah.
*****
            Setelah Rasulullah berpindah ke Madinah, Hudzaifah selalu berada di dekat beliau layaknya bola mata yang berdekatan satu dengan lainnya. Dia tak pernah absen dalam setiap peperangan, kecuali perang Badr.
            Ada cerita di balik tidak ikutnya Hudzaifah dalam perang Badr. Dia menceritakannya sendiri.
            “Tidak ada yang menghalangiku untuk ikut dalam perang Badr, kecuali karena aku dan ayahku pada saat itu tengah berada di luar Madinah. Kami dicegat oleh kafir Quraisy.
            “Mau ke mana kalian?” tanya mereka.
            “Ke Madinah,” jawab kami.
            “Kalian mau bertemu Muhammad?” tanya mereka.
            “Tidak. Kami hanya mau ke Madinah,” kami berdalih.
            Mereka tidak mau melepaskan kami kecuali jika kami berjanji untuk tidak membantu Muhammad dan ikut berperang bersama beliau. Akhirnya mereka melepaskan kami.
            Ketika kami berjumpa Rasulullah SAW, kami memberitahu beliau janji yang telah kami buat kepada orang-orang Quraisy.
            “Apa yang harus kami lakukan ya Rasulullah?” kami bertanya.
            “Kita penuhi janji mereka, dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melawan mereka,” jawab Nabi.
            *****
            Tatkala pertempuran Uhud usai, Hudzaifah beruntung bisa pulang dengan selamat. Sementara ayahnya mati syahid di medan perang. Hanya sayang, dia tewas oleh pedang tentara kaum Muslimin sendiri, bukan pedang tentara Musyrikin. Ada sebab di balik peistiwa ini.
            Ketika perang Uhud, Rasulullah SAW menempatkan al-Yaman dan Tsabit bin Waqsy di benteng bersama para wanita dan anak-anak. Keduanya memang telah lanjut usia. Saat pertempuran tengah berkecamuk, al-Yaman berkata kepada kawannya ini, “Ayo! Kita sudah tak berayah yang bisa membela kita lagi. Apa yang kita tunggu! Demi Allah, usia kita sekarang sudah seperti keledai sekarat karena kehausan. Tak lama lagi kita pasti mati, entah hari ini atau besok. Tidakkah kita ambil pedang lalu menyusul Rasulullah SAW.? Semoga Allah menganugerahi kita mati syahid bersama Nabi-Nya.”
            Lalu keduanya mengambil pedang dan begabung dengan pasukan tempur.
            Tsabit bin Waqsy lebih beruntung dianugerahi Allah mati syahid di tangan tentara Musyrik. Sedangkan al-Yaman, ayah Hudzaifah, bertubi-tubi mendapat tusukan pedang tentara Muslimin. Mereka memang tidak mengenalnya. Saat itu Hudzaifah berteriak:
            “Ayah... Ayah...!!!”
            Tapi tak seorangpun mendengar. Orang tua malang itu akhirnya tumbang oleh pedang sahabatnya sendiri.
            Hudzaifah berdoa, “Semoga Allah mengampuni kalian. Dia Maha Pengasih.”
            Rasulullah SAW sedianya hendak memberikan Hudzaifah diyat (tebusan) ayahnya. Tetapi Hudzaifah menjawab, “Ayahku hanya menginginkan mati syahid dan dia sudah memperolehnya. Ya Allah, saksikanlah aku sedekahkan diyat ayahku untuk kaum Muslimin.”
            Keputusannya ini menjadikannya semakin dicintai Nabi SAW.

*****
            Rasulullah SAW. pernah menguji kemampuan Hudzaifah. Dari situ beliau menemukan tiga hal dalam diri Hudzaifah: kecerdasan dalam memecahkan masalah-masalah rumit, pemahaman yang cepat dari setiap perkataan, dan kemampuan menyimpan rahasia.
            Rasulullah memang suka menggali potensi setiap sahabatnya sebagai sebuah strategi dakwah. Beliau akan mendayagunakan kemampuan-kemapuan yang terdapat dalam diri mereka. Hal ini terlihat dari strategi Nabi menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat pula.

*****
            Masalah terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah adalah keberadaan orang-orang munafik dari golongan Yahudi serta rekan-rekan mereka. Segala macam tipu daya dan adu domba mereka lakukan  terhadap Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.
            Nabi SAW memberi tahu Hudzaifah nama orang-orang munafik ini. Ini adalah rahasia yang tak seorang sahabat lain pun tahu. Beliau menitahkan untuk  mengawasi gerak-gerik dan kegiatan mereka demi kemaslahanan Islam dan kaum Muslimin. Sejak itu Hudzaifah bin al-Yaman dijuluki “Penjaga rahasia Rasulullah SAW.”
*****
            Rasulullah SAW pernah memanfaatkan bakat Hudzaifah untuk posisi yang sangat berbahaya. Posisi yang membutuhkan kecerdasan dan kesigapan tingkat tinggi. Saat itu adalah puncak perang Khandaq. Kaum Muslimin dikepung musuh dari berbagai penjuru. Pengepungan berlangsung cukup lama. Para pasukan Nabi terlihat sangat kepayahan dan nampak putus asa, tidak tahu harus bagaimana dalam kondisi terjepit itu. Bahkan sebagian mereka sampai ada yang menyangka yang tidak-tidak kepada Allah.
            Sementara keadaan pasukan Quraisy dan koalisinya pun tidak lebih baik dari keadaan pasukan Muslimin di saat-saat genting itu.
            Allah telah menimpakan murka-Nya kepada pasukan kafir Quraisy, murka yang melemahkan kekuatan dan mengguncang keyakinan mereka. Allah mengirim angin kencang yang merobohkan tenda-tenda mereka, melemparkan semua peralatan, memadamkan obor-obor, melemparkan kerikil-kerikil ke wajah-wajah mereka, dan menutupi mata dan lubang hidung mereka dengan pasir.
            Dalam sejarah peperangan, hampir di setiap kondisi genting, pihak yang kalah akan merengek terlebih dahulu. Sementara pihak yang beruntung akan mengatur diri agar mata tetap bertahan.
            Pada saat-saat seperti ini, saat-saat yang menentukan hasil akhir, memperoleh informasi tentara musuh menjadi hal paling penting untuk segera memprediksi dan menentukan keputusan.
            Di sinilah potensi dan pengalaman Hudzaifah bin al-Yaman dibutuhkan. Rasulullah pun memutuskan untuk mengirimnya ke tengah-tengan pasukan musuh di kegelapan malam, untuk memperoleh infomasi sebelum menentukan keputusan.
            Mari kita dengarkan Hudzaifah menceritakan ekspedisi mautnya:
            “Malam itu kami duduk berbaris,” tuturnya. “ Abu Sufyan dan kaum Musyikin Mekkah lainnya berada di depan. Sedangkan di belakang kami Yahudi Bani Quraizhah. Kami sangat mengkhawatirkan istri-istri dan anak-anak kami. Malam itu benar-benar malam yang sangat mencekam ditambah angin yang bertiup sangat kencang. Suaranya seperti halilintar. Saking gelapnya malam, sampai-sampai kami tak bisa melihat jari-jari tangan.
            Orang-orang munafik satu per satu meminta izin kepada Rasul SAW.
            “Rumah-rumah kami terancam musuh,” kata mereka. Padahal sebenanya rumah-rumah mereka tidaklah terancam.
            Tak satupun izin yang ditolak oleh Nabi. Satu per satu mereka pergi hingga yang tersisa dari kami hanya sekitar tiga ratus orang.
            Di saat demikian ini, Nabi SAW berjalan mengelilingi kami. Beliau berhenti di depanku. Saat itu tak satu pun yang dapat melindungiku dari sengatan dingin malam selain selimut milik istriku. Itu pun tidak sampai melindungi kedua lututku.
            Beliau mendekatiku yang tengah duduk di atas tanah.
            “Siapa ini?” tanya beliau.
            “Hudzaifah,” jawabku.
            “Hudzaifah?”
            “Benar, Rasulullah.” Aku semakin tertunduk ke tanah, sungkan untuk berdiri karena rasa lapar dan dingin yang sangat.
            “Ada sebuah informasi di antara kaum Musyrikin. Menyelinaplah ke tenda-tenda mereka. Bawakan untukku informasi itu,” kata beliau.

            Aku segera keluar barisan dalam keadaan sangat takut dan kedinginan.
            “Ya Allah,” Nabi berdoa.”Jagalah Hudzaifah dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan bawahnya.”
            Demi Allah, setelah Nabi berdoa, Allah menghilangkan rasa takut dari dadaku dan melenyapkan rasa dingin dari badanku.
            Tatkala aku berbalik badan, Rasulullah memanggilku.
            “Hudzaifah,” seru beliau. “Jangan berbuat apapun sampai kau kembali kepadaku.”
            “Baik,” jawabku.
            Aku menyelinap masuk di antara pasukan Musyrikin. Aku menyamar seolah-olah salah satu dari mereka.
            Tak lama kemudian, Abu Sufyan berdiri untuk berpidato di depan pasukan.
            “Wahai Quraisy, aku ingin katakan sesuatu kepada kalian. Tapi aku takut itu akan terdengar Muhammad. Maka, setiap orang dari kalian harus melihat orang yang duduk di sampingnya.”
            Aku langsung meraih tangan orang di sampingku.
            “Siapa kau?” tanyaku.
            “Aku fulan bin fulan,” jawabnya.
            Abu Sufyan berpidato lagi. “Hai Quraisy! Demi Allah, kalian saat ini tidak saat di tempat yang kekal. Ternak-ternak kita telah mati. Bani Quraizhah telah meninggalkan kita. Kita juga ditimpa angin yang sangat kencang seperti yang kalian lihat. Pulanglah kalian. Aku akan pulang.”
            Abu Sufyan berdiri menuju untanya, melepaskan tali, menaikinya, lalu memukulnya. Sehingga unta pun berdiri. Andai bukan karena Rasulullah SAW menyuruhku untuk tidak berbuat apapun sampai aku kembali, tentu aku sudah memanah Abu Sufyan.
            Setelah itu aku kembali menemui Nabi SAW. Aku mendapati beliau sedang shalat berselimut dengan selimut salah satu istrinya. Ketika melihatku, beliau mendekatkanku kepada dua kakinya, dan menutupi kakiku dengan ujung selimut itu. Aku memberikan infomasi itu. Beliau sangat senang mendengarnya, dan memanjatkan pujian kepada Allah SWT.
****
            Hudzaifah tetap menjaga rahasia tentang orang-orang munafik hingga akhir hayatnya. Para khalifah pun selalu bertanya kepadanya tentang mereka. Sampai-sampai Umar bin al-Khathab jika ada orang Islam meninggal, selalu  bertanya, “Apakah Hudzaifah datang menyalatinya?” Jika orang-oang menjawab ya, Umar ikut menyalatinya. Tapi jika mereka menjawab tidak, dia ragu dan tidak ikut menyalatinya.
            Pernah suatu ketika Umar bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah di antara gubernurku ada orang munafik?”
            “Ada, satu,” Jawab Hudzaifah.
            “Tunjukan padaku siapa dia,” pinta Umar.
            “Tidak akan,” tolaknya. Tetapi Umar akhirnya memecat seorang gubernurnya. Sepetinya Umar mendapat petunjuk lain.
            Barangkali sedikit orang mengetahui bahwa Hudzaifah bin al-Yaman adalah orang yang membukakan jalan bagi kaum Muslimin menuju gerbang negeri Nahawand, Dainawar, Hamadzan dan Ray. Dia juga yang mengusulkan ditetapkannya satu mushaf al-Quran standar untuk menyatukan kaum Muslimin, di saat mereka hampir berselisih  mengenai kitab Allah.
*****
            Meskipun begitu, Hudzaifah bin al-Yaman memiliki rasa takut yang besar kepada Allah, takut akan siksa-Nya.
            Ketika sakaratul maut menghampirinya, sebagian sahabat menengoknya di tengah malam.
            “Sekarang waktu apa?” Tanya Hudzaifah.
            “Kita mendekati waktu subuh.” jawab para sahabat.
            “Aku berlindung kepada Allah dari pagi yang mengantarkanku ke neraka,” lirih Hudzaifah. “Aku berlindung kepada Allah dari pagi yang mengantarkanku ke neraka.”
            “Apakah kalian sudah membawa kain kafan?” tanyanya lagi.
            “Ya,” jawab mereka.
            “Jangan berlebihan memilih kain kafan. Jika aku punya kebaikan di sisi Allah, aku akan dibalas dengan kebaikan pula. Tapi jika sebaliknya, kebaikanku akan dicabut.”Pesannya.
            Hudzaifah terus-menerus berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku lebih menyukai kefakiran daripada kekayaan, lebih menyukai kerendahan daripada kehormatan, dan lebih memilih mati daripada hidup.”
            Ruhnya pun terlepas, “Seorang kekasih datang membawa rindu...”
            Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Hudzaifah bin al-Yaman. Dia adalah sosok manusia yang langka.

(diterjemahkan oleh Arief fathur Rizqi dari Dr. 'Abd ar-Rahmaan Ri'fat al-Baasyaa, Shuwar min Hayaah ash-Shahaabah Jilid 4, Kementerian Pendidikan Kerajaan Saudi Arabia, cet. 3, 1984)

No comments:

Post a Comment