Monday, September 30, 2013

Hei....


Foto ini diambil di suatu hari pada bulan Februari yang bersih.
Saya masih bisa membayangkan betapa sejuk suasana dan aroma rumput yang sedikit basah di bulan itu.

Tanpa sengaja saya menemukan satu lembar ini di bagian dalam lemari. Dan mengingatnya bahwa saya juga telah menyimpannya dalam bentuk softcopy di memori laptop.

 Tiba-tiba terbesit di pikiran; “Hei, kenapa tidak meng-upload-nya saja di Blogspot. !”

Dan disinilah kita sekarang.

Kenapa foto ini penting?

Bismillah…
Karena foto ini menunjukan salah satu momen yang mengingatkan bahwa saya bahagia.

Bahwa banyak sekali nikmat yang Allah berikan pada saya.
Bocah-bocah di dalam foto ini adalah dua dari sedikit orang yang saya bisa menunjukan diri saya apa-adanya tanpa perlu merasa risau dituntut bersikap ini-dan itu.
Tanpa perlu merasa risau menjadi orang yang tidak mereka sukai.
Lagian, sejak kapan menjadi-disukai adalah sebuah tujuan yang harus dipikirkan? Right? :D

Sahabat. Maka carilah dan bersamai mereka karena Allah, dengan cara yang diridhoi Allah, dan untuk menggapai ridho Allah.

Pemuda Riau dengan wangi selembut angin

"Menjadi (seorang) Rojuludda'wah, ente harus kuat."

(Alm. Ust Abdul Gani Fani, 1987-2013)

Bismillah.
Mungkin memang saya bukan sahabat terdekatnya.
Mungkin memang saya tak begitu mengenalnya.
Tapi percayalah, tak ada kenangan yang saya miliki dari diri beliau selain orangnya baik sekali.

Ba'da sholat shubuh pagi ini, saya mendapatkan pesan di WhatsApp dari nomor tak dikenal bahwa beliau telah wafat.
Sama halnya, jika mendapatkan berita duka, air mata saya meleleh.
Selang tak berapa lama, saya berlari menuju pancuran. Makanan Sahur saya keluar kembali.
Belum setengah jam makanan itu ada di lambung, ini menandakan rapuhnya perasaan saya dikarenakan memori saya tentang beliau.

Saya mengenalnya diawal tahun 2012. Kami bertemu di masjid. Kontrakan kami memang bertentangga saat itu.
Wajahnya gempal badannya besar. Sikapnya kebapakan sekali.
Seorang kawan, pernah berujar; "Bagaimana mungkin engkau bisa mengenalnya? Padahal dia selalu membiasakan dirinya berkomunikasi dengan bahasa Arab?" Langsung kujawab; "Yah, dengan orang yang tak bisa bahasa Arab, tentu ia memakai bahasa Indonesia." :D
Pertanyaan yang menarik sekali.

Singkat kata kami akrab.
Bagaimana mungkin tidak akrab, Sejak saat itu beliau datang rutin di shubuh hari ke pintu kontrakan untuk memastikan kami sudah bangun dan siap melaksanakan sholat shubuh berjama'ah di masjid.
Saya tak berlebihan, beliau datang rutin di shubuh hari ke pintu kontrakan kami, memastikan mata kami sudah terbuka dan segera bergegas lagi ke masjid untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyah.
Mungkin itu puncak-puncaknya di usia saya, saya tak putus sholat shubuh berjama'ah di masjid.

Tak lama setelah terbit fajar, terkhusus akhir pekan, dia akan kembali ke depan kontrakan saya lengkap dengan sepatu model lama dan celana santai cingkrang se-betis. Memaksa Lari pagi.
"Ente menyiksa ane, Gani." keluh saya ditengah salah satu sebuah sesi sit up 30 kali setelah saya dengan terseok-seok berhasil mengejar beliau mengelilingi mal pejaten village.
Dia tertawa. Dan hanya berkata; "Menjadi (seorang) Rojuludda'wah, ente harus kuat."
Saya pun ikut tertawa.

Setelah tak berhasil memaksa saya push up, akhirnya kami pendinginan. Dan pada saat itulah ia bercerita mengenai hidupnya, keluarganya, dan mimpi-mimpinya.
Ia bercerita bahwa ia sudah menikah.
Ia bercerita bahwa ia sangat bahagia dengan pernikahannya.
Ia bercerita mengenai saudara perempuannya yang menempuh kuliah pendidikan matematika.
Ia bercerita mengenai kemampuannya dalam komputer yang ia dapati di kuliah sebelumnya.
Ia bercerita tentang Riau, sebuah negeri yang hanya dapat saya bayangkan dari senyumnya.
Ia bercerita mengenai LIPIA, dan pentingnya belajar bahasa Arab. Beliau memotivasi saya.

"Apakah ente memiliki mimpi untuk bisa kuliah di Madinah (Univ Islam Madinah), Gani?" tanya saya polos, suatu hari.Dia tersenyum. Dia sudah merasa amat bersyukur sekali bisa kuliah di LIPIA. Begitu kurang lebih jawabanya.

Pernah pada suatu saat. Dia membawa bayi perempuannya ke kontrakan.
Tentu saya orang yang paling antusias. Sikapnya kebapakan sekali. Coba bayangkan, dirinya berjalan sendiri saja sudah seperti bapak-bapak. Apalagi saat beliau membawa bayi. :)
Beliau sayang sekali dengan putrinya. Dan saya berhasil menggendongnya walau sebentar.

Satu hal lagi yang saya ingat dari beliau.
Sholat ba'diyah maghrib dan isya-nya jauh lebih lama dari sholat fardhunya. ^^
Dan ini jelas sangat menarik. Saya terkadang membeli minuman ringan dari warung belakang masjid, lalu menontonya sholat dari belakang. Senyum saya merekah saat marbot masjid sudah terlampau kesal menunggu beliau selesai dan akhirnya pulang mematikan lampu meninggalkan beliau sendiri dalam kegelapan. :))

Beliau orang yang santun.
Berkali-kali ia minta maaf saat ia sedang mengobrol dengan kawannya memakai bahasa Arab padahal ada saya disana. Saya sampaikan kepadanya, saya tak apa-apa.
Banyak kosakata baru yang saya dapatkan dalam bahasa arab yang dari beliau di kontrakan.
Seperti; "Shollu... Shollu...!! Kum...!! Kum...!!!" (artinya: Sholat... Sholat.... Bangun... Bangun....!!)

:P

Kami tak pernah makan bersama. Saya mengira ini dikarenakan beliau lebih mengutamakan istrinya di kontrakan beliau sendiri, dan makan bersamanya. :)

Akhir tahun 2012, saya telah menyelesaikan studi dan tugas akhir saya.
Dan ini artinya satu hal; saya akan di wisuda bulan Februari 2013.
Ini adalah akhir kesempatan kami bertetangga, tak lama dari itu saya pindah ke rumah orangtua saya dan mulai bekerja, sibuk dengan dunia saya sendiri.
Sejak saat itu saya jarang bertemu dengan beliau.

Bulan Mei 2013, beliau mengundang saya ke Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah, tempat beliau mengajar di bogor, saya menginap disana 2 hari 1 malam. Pengalaman menyenangkan yang tak terlupakan.

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengekspos pribadinya, tapi tulisan ini lahir sebagai bentuk keegoisan perasaan saya, agar saya dapat membacanya dikemudian hari karena saya telah berazzam untuk tidak akan melupakan segala hal baik tentang beliau.

Ustadz Abdul Gani Fani, wafat karena leukemia akut pada dini hari (sebelum pukul 1) tanggal 27 Juli 2013 di Rumah Sakit Ibnu Sina Pekanbaru, Riau. Beliau meninggalkan seorang putri kecil dan seorang istri yang sekarang sedang hamil 8 bulan... Bagi segenap saudara dan sahabat mohon do'a untuk kemudahan dan segala kebaikan keluarga yang ditinggalkan...




Ana uhibbuka fillah, ustadz Gani. Jakarta, 18 Ramadhan 1434 H - 27 Juli 2013 M








Thursday, January 31, 2013

Pakaian yang Mengikuti Sunnah

Ramadhan yang lalu, dengan aroma manis kurma yang selalu mudah saya kenang, di sebuah rumah Ustadz, saya menemukan sebuah majalah 'salaf' yang tergeletak manis di atas sofa.

Majalah yang bagus dan selalu menarik untuk menambah wawasan syar'iyah, beberapa opini dan fatwa di dalamnya acapkali membuat alis saya mengerut dan tersenyum-senyum.

Saya buka dan dalami setiap jengkal halamannya. Bagus. Menarik.
Oke, saya akan terbuka.. Majalah tersebut adalah satu eksemplar majalah Majalah Al-Furqan edisi 06 tahun Ke-10 Muharram 1432H/2010 M.

Hingga saya tiba di halaman 26...

Disana tertulis narasi seorang ustadz yang sudah sangat masyhur saya mendengarnya, beliau menulis:


"Beberapa tahun yang lewat saya mengetahui ada seorang yang kuliah di sebuah fakultas MIPA. Menariknya orang tersebut setiap kali berangkat kuliah dia berpakaian gamis ala Pakistan yang panjangnya sampai lutut plus kopiah putih di kepalanya. Kata seorang yang satu fakultas dengan orang tersebut, pakaian tersebut dia pakai selama kuliah baik di ruang kuliah ataupun di laboratorium saat sedang praktikum. Padahal tidak ada satupun orang yang berpakaian sebagaimana pakaiannya yaitu bergamis selutut dan memakai kopiah berwarna putih. Dia tidak ingin malu untuk berpakaian yang menunjukkan identitas keislamannya."


Luar biasa. Inilah tepat seperti pengalaman yang saya rasakan saat di kampus. Bahkan saya curiga, jangan-jangan fakultas MIPA yang ustadz ini maksudkan adalah Fakultas MIPA di universitas yang sama tempat saya mengambil studi S1 saya.

Beliau melanjutkan:


"Pada awalnya saya cukup kagum dengan orang tersebut karena kesiapan mentalnya yang luar biasa dalam menampakkan pakaian identitas keislaman. Wong, orang Nasrani saja tidak malu pakai kalung salib kenapa seorang muslim malu memakai pakaian yang menunjukkan identitas keislamannya."


Sampai paragraf ini, saya mulai tenggelam dengan gaya penulisannya. Dan semakin berhasrat untuk menuntaskan isi dari artikel ini hingga habis.
Saya menunggu dalil. Bagaimana pendapat ulama salaf tentang ini. Bagaimana pandangan sunnah mengenai ini.

Dan benar. Beliau pun mengutip perkataan seorang ulama:



"Pikiran dan pandangan tersebut akhirnya berubah setelah membaca perkataan Ibnul Jauzi berikut ini:

وقد كان في الصوفية من يجعل على رأسه خرقة مكان العمامة وهذا أيضا شهرة لأنه على خلاف لباس أهل البلد


Diantara orang-orang sufi ada yang meletakkan potong-potongan kain di atas kepalanya sebagai pengganti sorban (yang sudah familiar di daerahnya, pent). Ini adalah pakaian (perbuatan) syuhroh karena menyelisihi model berpakaian yang sudah familiar di daerahnya."



Syuhroh adalah sesuatu yang menonjol. Yang dimaksud dengan pakaian syuhroh adalah pakaian yang menyebabkan pemakai menjadi kondang di tengah-tengah masyarakat disebabkan warna pakaiannya menyelisihi warna pakaian yang umum dipakai masyarakat. Akhirnya banyak orang menatap tajam orang yang memakai pakaian tersebut dan pemakainya sendiri lalu merasa dan bersikap sombong terhadap orang lain. (Ibnul Atsir -sebagaimana yang dikutip oleh asy Syaukani dalam Nailul Author juz 2 hal 470)


وكل ما فيه شهرة فهو مكروه

"Semua yang menyebabkan orang yang mengenakannya menjadi bahan pembicaraan banyak orang hukumnya makruh”.

أخبرنا يحيى بن ثابت بن بندار نا أبي الحسين بن علي نا أحمد بن منصور البوسري ثنا محمد بن مخلد ثني محمد بن يوسف قال : قال عباس بن عبد العظيم العنبري قال بشر بن الحارث : إن ابن المبارك دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها في كمه

Setelah itu Ibnul Jauzi membawakan riwayat dengan sanadnya dari Bisyr bin al Harits, “Sesungguhnya Abdullah bin Mubarak pada hari Jumat masuk ke dalam sebuah masjid untuk melaksanakan shalat Jumat dalam keadaan memakai peci. Ternyata di masjid tidak ada satu pun orang yang memakai peci. Akhirnya beliau lepas peci yang beliau kenakan dan beliau sembunyikan di lengan baju beliau
[Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi hal 237, terbitan Darul Aqidah Mesir, cetakan pertama 1420 H]. "





Jujur saya terhentak dengan penulisan ini.

Dalam tulisannya, beliau menuturkan, Ada beberapa pelajaran berharga di balik keteladanan Ibnul Mubarak di atas:



Pertama, Ada ‘syuhroh’ dalam masalah tutup kepala. Oleh karena itu tidak selayak seorang muslim memakai peci putih jika seisi masjid memakai songkok hitam, memakai sorban ala Yaman (sorban khas Laskar Jihad di masa silam) padahal model pakaian semacam itu tidaklah lazim di lingkungannya, memakai syimagh ala Saudi yang berwarna putih bercampur merah jika model pakaian semacam itu belum wajar di sekelilingnya atau memakai peci ketika pergi ke kampus padahal seisi kampus tidak ada yang berpenampilan semacam ini.

Kedua, Ruang lingkup syuhrah itu tidak harus daerah yang luas. Seorang yang berpeci padahal seisi ruangan tidak ada yang berpeci terhitung telah memakai pakaian syuhrah. Seorang yang kemana-mana berjubah padahal jubah itu masih dianggap asing dan aneh di daerahnya adalah seorang yang memakai pakaian syuhrah. Sehingga tidaklah benar seorang memberikan penilaian secara general bahwa jubah bukanlah pakaian syuhrah di Indonesia. Yang tepat adalah merinci masalah ini. Boleh jadi jubah bukanlah pakaian syuhrah di sebuah kawasan pesantren dan menjadi pakaian syuhrah ketika dipakai di pasar atau di masjid kampung dan seterusnya.

Ketiga, pakaian syuhroh menurut Ibnul Jauzi hukumnya makruh, tidak haram sebagaimana pendapat sebagian ulama yang lain. adakah ulama yang menegaskan bahwa pakaian syuhroh itu dosa besar? Sejauh ini, saya belum mengetahuinya. Jika diantara ada yang memiliki ilmu tentang hal ini janganlah bakhil untuk memberikannya kepada kami.

keempat, Ibnul Jauzi tidak mempersyaratkan ‘niat untuk mencari ketenaran’ agar seorang itu dinilai melakukan larangan yaitu memakai pakaian syuhroh. Syarat yang beliau tetapkan adalah kondisi pakaian itu sendiri. jika kondisi pakaian itu sendiri menyebabkan ‘syuhroh’ alias buah bibir maka disitulah ada hukum makruh.



Untuk mengimbangi pendapat beliau ini, saya akan kutipkan secara lengkap pendapat beliau terkait gamis;

"Ada hadits yang menunjukkan bahwa model pakaian yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gamis (sejenis jubah), karena dengan gamis lebih menutup tubuh daripada memakai izar dan rida (pakaian atasan dan bawahan seperti yang dipakai orang yang sedang berihram)."


Sepanjang pengetahuan saya yang minim, redaksional hadits ini berasal dari perkataan ummu salamah yang di riwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Turmudzi dan derjat hadits ini hasan.

"Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkadang orang-orang Arab memakai izar dan rida, kadang juga memakai gamis, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyukai gamis.

Selain itu gamis terdiri hanya satu potong saja sehingga mudah dikenakan daripada memakai izar terlebih dahulu kemudian memakai rida. Meskipun demikian, seandainya Anda tinggal di satu tempat yang terbiasa memakai izar dan rida lalu Anda berpakaian sebagaimana lumrahnya masyarakat maka tidaklah berdosa. Yang penting jangan sampai menyelisihi jenis pakaian yang biasa dipakai di tengah-tengah masyarakat. Karena dengan memakai pakaian yang berbeda dengan yang dikenakan masyarakat setempat, akan terkesan lebih menonjol daripada orang disekitarnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengenakan pakaian yang menyebabkan seseorang tampak lebih menonjol daripada yang lainnya."

(Lihat Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin Cetakan Dar wathan Juz 7 hal 303)

Disini dengan terang Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin menerangkan bahwa pakaian tawadlu adalah pakaian yang wajar di tengah-tengah manusia sehingga dengan pakaian itu ia tidak ada peluang untuk membanggakan diri di hadapan manusia di sisi lain merekapun tidak tersakiti hati mereka dengan pakaian yang kita kenakan.

Saya pun pribadi sepakat dengan pendapat syeik utsaimin  dalam Syarah Riyadhus Shalihin Cetakan Dar wathan Juz 7 hal 303 yang senada dengan ini, tatkala para sahabat menaklukkan berbagai negeri, mereka mengenakan pakaian sebagaimana pakaian masyarakat setempat. Hal tersebut bertujuan supaya tidak tampil beda dan menjadi bahan gunjingan banyak orang. Jika kita memakai pakaian yang tampil beda maka masyarakat akan mengatakan si A itu  dan demikian atau bahkan jadi bahan guyonan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya untuk mengenakan pakaian yang menyebabkan popularitas.” (lihat HR. Ahmad no. 5631, Abu Dawud no. 4029, dan lain-lain. Hadits ini dihasankan oleh Imam al-Mundziri dan al-Ajluni).

Di akhir artikel ini, beliau menuliskan:
…Jadi, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan karena mengikuti tradisi masyarakat setempat itu dianjurkan jenis perbuatannya dan bukan modelnya. (Syarh Nadzam al-Waroqot karya Syaikh Utsaimin hlm. 149-150, terbitan Dar Ibnul Jauzi, Arab Saudi, cetakan pertama, 1425 H)


syukran jazakallah kepada ustadz Aris Munandar atas setiap penjelesannya.

Saturday, January 26, 2013

Hudzaifah bin al-Yaman


Hudzaifah bin al-Yaman

            “Jika kau mau, kau bisa masuk Muhajirin. Dan jika kau mau juga, kau bisa masuk Anshar. Pilihlah dari keduanya yang kau sukai.”
            Kalimat ini dilontarkan Rasulullah SAW kala betemu untuk pertama kali dengan Hudzaifah di Mekah.
            Ada cerita di balik pilihan yang diberikan Rasulullah kepada Hudzaifah bin al-Yaman untuk menjadi bagian dari salah satu dari dua golongan paling mulia di antara kaum Muslimin itu.
            Ayah Hudzaifah, al-Yaman, adalah seorang penduduk Mekkah dari suku 'Abs. Tetapi suatu hari dia menumpahkan darah salah seorang penduduk Mekkah lain. Dia kemudian harus melarikan diri ke Yatsrib. Di Yatsrib, dia berlindung pada suku Abdul Ashal. Tak lama kemudian, dia menikahi seorang perempuan dari suku tersebut. Dari pernikahan tersebut lahirlah Hudzaifah.
            Kian hari hambatan-hambatan yang menghalanginya untuk memasuki Mekkah kian sirna. Ayah Hudzaifah menjadi bingung antara kembali ke Mekkah atau tetap di Yatsrib. Dia sudah terlalu lama tinggal di Madinah dan sudah akrab dengan kota itu.
            Saat cahaya Islam memancar ke seluruh Jazirah Arab, al-Yaman termasuk dari sepuluh orang dari suku 'Abs yang pergi menghadap Rasulullah SAW. dan menyatakan diri masuk Islam di hadapan beliau. Kejadian ini berlangsung sebelum beliau berhijrah ke Madinah. Dari sinilah Hudzaifah, sang anak, disebut orang Mekkah (tanah air orangtuanya), sekaligus orang Madinah (tanah kelahiran dan tumbuh besarnya).
*****
            Hudzaifah tumbuh di tengah-tengah keluarga yang taat. Dididik di pangkuan kedua orang tua yang bersegera memeluk agama Allah. Hudzaifah sendiri memeluk Islam sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.
*****
            Keinginan Hudzaifah untuk betemu Nabi sangat besar. Sejak memeluk Islam dia selalu menanti berita tentang beliau. Dia terus bertanya kepada orang di sekitarnya tentang sifat-sifat beliau. Hal ini  kian menambah kerinduan dan kecintaannya tehadap beliau.
            Pada suatu hari, datanglah kesempatan Hudzaifah berangkat ke Mekkah untuk menemui beliau. Saat bertemu dia menyempatkan bertanya, “Rasulullah, apakah aku orang Anshar atau orang Muhajirin?”
            “Jika mau, kau bisa termasuk orang Muhajirin,” jawab Nabi. “Jika kau mau, kau bisa masuk Muhajirin. Dan jika kau mau juga, kau bisa masuk Anshar. Pilihlah sesuka hatimu.”
            “Aku orang Anshor, Rasulullah,” jawab Hudzaifah.
*****
            Setelah Rasulullah berpindah ke Madinah, Hudzaifah selalu berada di dekat beliau layaknya bola mata yang berdekatan satu dengan lainnya. Dia tak pernah absen dalam setiap peperangan, kecuali perang Badr.
            Ada cerita di balik tidak ikutnya Hudzaifah dalam perang Badr. Dia menceritakannya sendiri.
            “Tidak ada yang menghalangiku untuk ikut dalam perang Badr, kecuali karena aku dan ayahku pada saat itu tengah berada di luar Madinah. Kami dicegat oleh kafir Quraisy.
            “Mau ke mana kalian?” tanya mereka.
            “Ke Madinah,” jawab kami.
            “Kalian mau bertemu Muhammad?” tanya mereka.
            “Tidak. Kami hanya mau ke Madinah,” kami berdalih.
            Mereka tidak mau melepaskan kami kecuali jika kami berjanji untuk tidak membantu Muhammad dan ikut berperang bersama beliau. Akhirnya mereka melepaskan kami.
            Ketika kami berjumpa Rasulullah SAW, kami memberitahu beliau janji yang telah kami buat kepada orang-orang Quraisy.
            “Apa yang harus kami lakukan ya Rasulullah?” kami bertanya.
            “Kita penuhi janji mereka, dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melawan mereka,” jawab Nabi.
            *****
            Tatkala pertempuran Uhud usai, Hudzaifah beruntung bisa pulang dengan selamat. Sementara ayahnya mati syahid di medan perang. Hanya sayang, dia tewas oleh pedang tentara kaum Muslimin sendiri, bukan pedang tentara Musyrikin. Ada sebab di balik peistiwa ini.
            Ketika perang Uhud, Rasulullah SAW menempatkan al-Yaman dan Tsabit bin Waqsy di benteng bersama para wanita dan anak-anak. Keduanya memang telah lanjut usia. Saat pertempuran tengah berkecamuk, al-Yaman berkata kepada kawannya ini, “Ayo! Kita sudah tak berayah yang bisa membela kita lagi. Apa yang kita tunggu! Demi Allah, usia kita sekarang sudah seperti keledai sekarat karena kehausan. Tak lama lagi kita pasti mati, entah hari ini atau besok. Tidakkah kita ambil pedang lalu menyusul Rasulullah SAW.? Semoga Allah menganugerahi kita mati syahid bersama Nabi-Nya.”
            Lalu keduanya mengambil pedang dan begabung dengan pasukan tempur.
            Tsabit bin Waqsy lebih beruntung dianugerahi Allah mati syahid di tangan tentara Musyrik. Sedangkan al-Yaman, ayah Hudzaifah, bertubi-tubi mendapat tusukan pedang tentara Muslimin. Mereka memang tidak mengenalnya. Saat itu Hudzaifah berteriak:
            “Ayah... Ayah...!!!”
            Tapi tak seorangpun mendengar. Orang tua malang itu akhirnya tumbang oleh pedang sahabatnya sendiri.
            Hudzaifah berdoa, “Semoga Allah mengampuni kalian. Dia Maha Pengasih.”
            Rasulullah SAW sedianya hendak memberikan Hudzaifah diyat (tebusan) ayahnya. Tetapi Hudzaifah menjawab, “Ayahku hanya menginginkan mati syahid dan dia sudah memperolehnya. Ya Allah, saksikanlah aku sedekahkan diyat ayahku untuk kaum Muslimin.”
            Keputusannya ini menjadikannya semakin dicintai Nabi SAW.

*****
            Rasulullah SAW. pernah menguji kemampuan Hudzaifah. Dari situ beliau menemukan tiga hal dalam diri Hudzaifah: kecerdasan dalam memecahkan masalah-masalah rumit, pemahaman yang cepat dari setiap perkataan, dan kemampuan menyimpan rahasia.
            Rasulullah memang suka menggali potensi setiap sahabatnya sebagai sebuah strategi dakwah. Beliau akan mendayagunakan kemampuan-kemapuan yang terdapat dalam diri mereka. Hal ini terlihat dari strategi Nabi menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat pula.

*****
            Masalah terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah adalah keberadaan orang-orang munafik dari golongan Yahudi serta rekan-rekan mereka. Segala macam tipu daya dan adu domba mereka lakukan  terhadap Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.
            Nabi SAW memberi tahu Hudzaifah nama orang-orang munafik ini. Ini adalah rahasia yang tak seorang sahabat lain pun tahu. Beliau menitahkan untuk  mengawasi gerak-gerik dan kegiatan mereka demi kemaslahanan Islam dan kaum Muslimin. Sejak itu Hudzaifah bin al-Yaman dijuluki “Penjaga rahasia Rasulullah SAW.”
*****
            Rasulullah SAW pernah memanfaatkan bakat Hudzaifah untuk posisi yang sangat berbahaya. Posisi yang membutuhkan kecerdasan dan kesigapan tingkat tinggi. Saat itu adalah puncak perang Khandaq. Kaum Muslimin dikepung musuh dari berbagai penjuru. Pengepungan berlangsung cukup lama. Para pasukan Nabi terlihat sangat kepayahan dan nampak putus asa, tidak tahu harus bagaimana dalam kondisi terjepit itu. Bahkan sebagian mereka sampai ada yang menyangka yang tidak-tidak kepada Allah.
            Sementara keadaan pasukan Quraisy dan koalisinya pun tidak lebih baik dari keadaan pasukan Muslimin di saat-saat genting itu.
            Allah telah menimpakan murka-Nya kepada pasukan kafir Quraisy, murka yang melemahkan kekuatan dan mengguncang keyakinan mereka. Allah mengirim angin kencang yang merobohkan tenda-tenda mereka, melemparkan semua peralatan, memadamkan obor-obor, melemparkan kerikil-kerikil ke wajah-wajah mereka, dan menutupi mata dan lubang hidung mereka dengan pasir.
            Dalam sejarah peperangan, hampir di setiap kondisi genting, pihak yang kalah akan merengek terlebih dahulu. Sementara pihak yang beruntung akan mengatur diri agar mata tetap bertahan.
            Pada saat-saat seperti ini, saat-saat yang menentukan hasil akhir, memperoleh informasi tentara musuh menjadi hal paling penting untuk segera memprediksi dan menentukan keputusan.
            Di sinilah potensi dan pengalaman Hudzaifah bin al-Yaman dibutuhkan. Rasulullah pun memutuskan untuk mengirimnya ke tengah-tengan pasukan musuh di kegelapan malam, untuk memperoleh infomasi sebelum menentukan keputusan.
            Mari kita dengarkan Hudzaifah menceritakan ekspedisi mautnya:
            “Malam itu kami duduk berbaris,” tuturnya. “ Abu Sufyan dan kaum Musyikin Mekkah lainnya berada di depan. Sedangkan di belakang kami Yahudi Bani Quraizhah. Kami sangat mengkhawatirkan istri-istri dan anak-anak kami. Malam itu benar-benar malam yang sangat mencekam ditambah angin yang bertiup sangat kencang. Suaranya seperti halilintar. Saking gelapnya malam, sampai-sampai kami tak bisa melihat jari-jari tangan.
            Orang-orang munafik satu per satu meminta izin kepada Rasul SAW.
            “Rumah-rumah kami terancam musuh,” kata mereka. Padahal sebenanya rumah-rumah mereka tidaklah terancam.
            Tak satupun izin yang ditolak oleh Nabi. Satu per satu mereka pergi hingga yang tersisa dari kami hanya sekitar tiga ratus orang.
            Di saat demikian ini, Nabi SAW berjalan mengelilingi kami. Beliau berhenti di depanku. Saat itu tak satu pun yang dapat melindungiku dari sengatan dingin malam selain selimut milik istriku. Itu pun tidak sampai melindungi kedua lututku.
            Beliau mendekatiku yang tengah duduk di atas tanah.
            “Siapa ini?” tanya beliau.
            “Hudzaifah,” jawabku.
            “Hudzaifah?”
            “Benar, Rasulullah.” Aku semakin tertunduk ke tanah, sungkan untuk berdiri karena rasa lapar dan dingin yang sangat.
            “Ada sebuah informasi di antara kaum Musyrikin. Menyelinaplah ke tenda-tenda mereka. Bawakan untukku informasi itu,” kata beliau.

            Aku segera keluar barisan dalam keadaan sangat takut dan kedinginan.
            “Ya Allah,” Nabi berdoa.”Jagalah Hudzaifah dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan bawahnya.”
            Demi Allah, setelah Nabi berdoa, Allah menghilangkan rasa takut dari dadaku dan melenyapkan rasa dingin dari badanku.
            Tatkala aku berbalik badan, Rasulullah memanggilku.
            “Hudzaifah,” seru beliau. “Jangan berbuat apapun sampai kau kembali kepadaku.”
            “Baik,” jawabku.
            Aku menyelinap masuk di antara pasukan Musyrikin. Aku menyamar seolah-olah salah satu dari mereka.
            Tak lama kemudian, Abu Sufyan berdiri untuk berpidato di depan pasukan.
            “Wahai Quraisy, aku ingin katakan sesuatu kepada kalian. Tapi aku takut itu akan terdengar Muhammad. Maka, setiap orang dari kalian harus melihat orang yang duduk di sampingnya.”
            Aku langsung meraih tangan orang di sampingku.
            “Siapa kau?” tanyaku.
            “Aku fulan bin fulan,” jawabnya.
            Abu Sufyan berpidato lagi. “Hai Quraisy! Demi Allah, kalian saat ini tidak saat di tempat yang kekal. Ternak-ternak kita telah mati. Bani Quraizhah telah meninggalkan kita. Kita juga ditimpa angin yang sangat kencang seperti yang kalian lihat. Pulanglah kalian. Aku akan pulang.”
            Abu Sufyan berdiri menuju untanya, melepaskan tali, menaikinya, lalu memukulnya. Sehingga unta pun berdiri. Andai bukan karena Rasulullah SAW menyuruhku untuk tidak berbuat apapun sampai aku kembali, tentu aku sudah memanah Abu Sufyan.
            Setelah itu aku kembali menemui Nabi SAW. Aku mendapati beliau sedang shalat berselimut dengan selimut salah satu istrinya. Ketika melihatku, beliau mendekatkanku kepada dua kakinya, dan menutupi kakiku dengan ujung selimut itu. Aku memberikan infomasi itu. Beliau sangat senang mendengarnya, dan memanjatkan pujian kepada Allah SWT.
****
            Hudzaifah tetap menjaga rahasia tentang orang-orang munafik hingga akhir hayatnya. Para khalifah pun selalu bertanya kepadanya tentang mereka. Sampai-sampai Umar bin al-Khathab jika ada orang Islam meninggal, selalu  bertanya, “Apakah Hudzaifah datang menyalatinya?” Jika orang-oang menjawab ya, Umar ikut menyalatinya. Tapi jika mereka menjawab tidak, dia ragu dan tidak ikut menyalatinya.
            Pernah suatu ketika Umar bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah di antara gubernurku ada orang munafik?”
            “Ada, satu,” Jawab Hudzaifah.
            “Tunjukan padaku siapa dia,” pinta Umar.
            “Tidak akan,” tolaknya. Tetapi Umar akhirnya memecat seorang gubernurnya. Sepetinya Umar mendapat petunjuk lain.
            Barangkali sedikit orang mengetahui bahwa Hudzaifah bin al-Yaman adalah orang yang membukakan jalan bagi kaum Muslimin menuju gerbang negeri Nahawand, Dainawar, Hamadzan dan Ray. Dia juga yang mengusulkan ditetapkannya satu mushaf al-Quran standar untuk menyatukan kaum Muslimin, di saat mereka hampir berselisih  mengenai kitab Allah.
*****
            Meskipun begitu, Hudzaifah bin al-Yaman memiliki rasa takut yang besar kepada Allah, takut akan siksa-Nya.
            Ketika sakaratul maut menghampirinya, sebagian sahabat menengoknya di tengah malam.
            “Sekarang waktu apa?” Tanya Hudzaifah.
            “Kita mendekati waktu subuh.” jawab para sahabat.
            “Aku berlindung kepada Allah dari pagi yang mengantarkanku ke neraka,” lirih Hudzaifah. “Aku berlindung kepada Allah dari pagi yang mengantarkanku ke neraka.”
            “Apakah kalian sudah membawa kain kafan?” tanyanya lagi.
            “Ya,” jawab mereka.
            “Jangan berlebihan memilih kain kafan. Jika aku punya kebaikan di sisi Allah, aku akan dibalas dengan kebaikan pula. Tapi jika sebaliknya, kebaikanku akan dicabut.”Pesannya.
            Hudzaifah terus-menerus berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku lebih menyukai kefakiran daripada kekayaan, lebih menyukai kerendahan daripada kehormatan, dan lebih memilih mati daripada hidup.”
            Ruhnya pun terlepas, “Seorang kekasih datang membawa rindu...”
            Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Hudzaifah bin al-Yaman. Dia adalah sosok manusia yang langka.

(diterjemahkan oleh Arief fathur Rizqi dari Dr. 'Abd ar-Rahmaan Ri'fat al-Baasyaa, Shuwar min Hayaah ash-Shahaabah Jilid 4, Kementerian Pendidikan Kerajaan Saudi Arabia, cet. 3, 1984)

Sikap Kita Lebih Penting Daripada Keadaan Kita

Seorang pria tanpa kaki sedang bercengkerama dengan seorang pemuda.

"Apa yg terjadi dengan kaki bapak?"

"Tidak ada yg terjadi, saya terlahir dengan keadaan demikian!"

"Apakah tanpa kaki menyulitkan bapak untuk bergerak dan pergi ke sesuatu tempat?"

"Apakah kamu punya sayap?" Si pria tanpa kaki berbalik tanya.

"Tidak!" Jawab si pemuda.

"Apakah tanpa sayap menyulitkan kamu untuk makan buah-buahan yg berasal dari atas pohon tinggi dan pergi jauh atau ke lain pulau?"

"Ada tukang buah dan ada pesawat terbang untuk pergi kemana pun sekarang ini"

"Jangan melihat yg tidak kita miliki. Dan ketahuilah, sikap kita lebih penting dari keadaan kita" tutup si pria tanpa kaki.

______________

Dan cacing di dasar laut pun memiliki rezeki
:)

Thursday, October 25, 2012

It's not all about the spring



Pernah seorang 'al akh' tercinta berkata:
"Sekarang ini sedang 'musim semi', lantas mengapa daun-daunnya malah berguguran?"
Waktu itu, saya hanya tertunduk tanpa bisa berkata apa-apa....
Sekelabat kekhawatiran melintas dalam benak saya,
Apakah saya dapat bertahan?
Apakah 'Dakwah ini' akan ambruk di 'musim panas' mendatang, dan malah mati saat 'musim gugur' yang sebenarnya... Sedih sekali.. Saya menangis.

Namun yah, sekarang, saya temukan jawabannya...
"Mungkin saya sudah wafat sebelum musim semi 'tahun depan'...
tapi tugas saya sekarang adalah tetap 'menanam benih'... right?" :)
Because everything's got to give..
Allah akan menjaga dakwah kita. Ada atau tidak adanya kita, dakwah akan tetap berjalan.

Saturday, October 20, 2012

The duckling and the chickens


Seekor induk ayam sangat berbahagia. Satu persatu telur yang telah dieraminya selama 21 hari menetas. Anak-anak yang lucu dan menggemaskan.

Satu hal yang mengherankan.
Seekor anak paruhnya tidak lancip, dan bersuara samber. Wek,wek,wek.
Tetapi ibu ayam adalah sosok teladan,apapun wujud dan suaranya, tidak pernah berkurang kasih sayang dan perhatiannya. No doubt, no discrimination.

Masalah justru terjadi pada anak-anak. Merasa bukan bagiannya, nak-anak ayam seringkali mengucilkan si paruh tidak lancip. Lebih parah lagi, si paruh tak lancip seringkali menjadi buah ejekan, karena suaranya yang samber dan jalannya yang megal-megol. Tetapi, si paruh tak lancip bermental baja. Dia bersikap dengan sesuatu yang ditiru manusia dari makhluk jenisnya, cuek bebek.

Suatu saat keluarga ayam harus melalui sungai dengan titian bambu. Tentu saja dengan gaya baris anak ayam. Tak henti-hentinya ibu ayam mengingatkan anak-anaknya. Si paruh tak lancip tercecer paling belakang dan didorong-dorong saudaranya agar tak dekat-dekat. Yaah, diterima sajalah, dengan gaya-tentu saja-cuek bebek.

Tak di nyana, seekor anak ayam jatuh ke sungai. Perencanaan matang, waskat, dan tetek bengek kecanggihan manajemen terkadang tak bisa menghindarkan celaka. Kata orang jawa, “Lha wis piye maneh?”
Kepanikan membadai, kotek-cicit ayam melukiskan kekacauan. Bukan main panik ibu ayam.
Tak di nyana, si paruh tak lancip mengikuti terjun ke sungai.byuurr…
Kepanikan menjadi tornado.
Satu jatuh menjadi badai, dua jatuh menjadi tornado.
Keajaiban terjadi, si paruh tak lancip ternyata lihai berenang. Tak tenggelam dia. Si paruh tak lancip sigap menolong saudaranya, yang selama ini sering menghina dan mengintimidasi.
From zero to hero ( ngapunten Mas Sholihin, saya pinjam kata-kata ). But tetap cuek bebek.

Kawan, kondisi antum sekarang menjadi generasi ghuroba tak harus menjadikan antum terasing.
Tak harus menjadikan antum kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.
Tetaplah menjadi orang bermanfaat, apapun perlakuan orang kepada kalian.
Cukuplah nasihat Rasulullah SAW, khoirunnaas anfa’uhum linnaas.