Hudzaifah bin al-Yaman
“Jika kau mau, kau bisa masuk Muhajirin. Dan jika kau mau juga, kau
bisa masuk Anshar. Pilihlah dari keduanya yang kau sukai.”
Kalimat ini dilontarkan Rasulullah SAW kala betemu untuk pertama kali dengan Hudzaifah di Mekah.
Ada cerita di balik pilihan yang diberikan Rasulullah kepada Hudzaifah
bin al-Yaman untuk menjadi bagian dari salah satu dari dua golongan
paling mulia di antara kaum Muslimin itu.
Ayah
Hudzaifah, al-Yaman, adalah seorang penduduk Mekkah dari suku 'Abs.
Tetapi suatu hari dia menumpahkan darah salah seorang penduduk Mekkah
lain. Dia kemudian harus melarikan diri ke Yatsrib. Di Yatsrib, dia
berlindung pada suku Abdul Ashal. Tak lama kemudian, dia menikahi
seorang perempuan dari suku tersebut. Dari pernikahan tersebut lahirlah
Hudzaifah.
Kian hari hambatan-hambatan yang
menghalanginya untuk memasuki Mekkah kian sirna. Ayah Hudzaifah menjadi
bingung antara kembali ke Mekkah atau tetap di Yatsrib. Dia sudah
terlalu lama tinggal di Madinah dan sudah akrab dengan kota itu.
Saat cahaya Islam memancar ke seluruh Jazirah Arab, al-Yaman termasuk
dari sepuluh orang dari suku 'Abs yang pergi menghadap Rasulullah SAW.
dan menyatakan diri masuk Islam di hadapan beliau. Kejadian ini
berlangsung sebelum beliau berhijrah ke Madinah. Dari sinilah Hudzaifah,
sang anak, disebut orang Mekkah (tanah air orangtuanya), sekaligus
orang Madinah (tanah kelahiran dan tumbuh besarnya).
*****
Hudzaifah tumbuh di tengah-tengah keluarga yang taat. Dididik di
pangkuan kedua orang tua yang bersegera memeluk agama Allah. Hudzaifah
sendiri memeluk Islam sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.
*****
Keinginan Hudzaifah untuk betemu Nabi sangat besar. Sejak memeluk Islam
dia selalu menanti berita tentang beliau. Dia terus bertanya kepada
orang di sekitarnya tentang sifat-sifat beliau. Hal ini kian menambah
kerinduan dan kecintaannya tehadap beliau.
Pada suatu
hari, datanglah kesempatan Hudzaifah berangkat ke Mekkah untuk menemui
beliau. Saat bertemu dia menyempatkan bertanya, “Rasulullah, apakah aku
orang Anshar atau orang Muhajirin?”
“Jika mau, kau
bisa termasuk orang Muhajirin,” jawab Nabi. “Jika kau mau, kau bisa
masuk Muhajirin. Dan jika kau mau juga, kau bisa masuk Anshar. Pilihlah
sesuka hatimu.”
“Aku orang Anshor, Rasulullah,” jawab Hudzaifah.
*****
Setelah Rasulullah berpindah ke Madinah, Hudzaifah selalu berada di
dekat beliau layaknya bola mata yang berdekatan satu dengan lainnya. Dia
tak pernah absen dalam setiap peperangan, kecuali perang Badr.
Ada cerita di balik tidak ikutnya Hudzaifah dalam perang Badr. Dia menceritakannya sendiri.
“Tidak ada yang menghalangiku untuk ikut dalam perang Badr, kecuali
karena aku dan ayahku pada saat itu tengah berada di luar Madinah. Kami
dicegat oleh kafir Quraisy.
“Mau ke mana kalian?” tanya mereka.
“Ke Madinah,” jawab kami.
“Kalian mau bertemu Muhammad?” tanya mereka.
“Tidak. Kami hanya mau ke Madinah,” kami berdalih.
Mereka tidak mau melepaskan kami kecuali jika kami berjanji untuk tidak
membantu Muhammad dan ikut berperang bersama beliau. Akhirnya mereka
melepaskan kami.
Ketika kami berjumpa Rasulullah SAW, kami memberitahu beliau janji yang telah kami buat kepada orang-orang Quraisy.
“Apa yang harus kami lakukan ya Rasulullah?” kami bertanya.
“Kita penuhi janji mereka, dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melawan mereka,” jawab Nabi.
*****
Tatkala pertempuran Uhud usai, Hudzaifah beruntung bisa pulang dengan
selamat. Sementara ayahnya mati syahid di medan perang. Hanya sayang,
dia tewas oleh pedang tentara kaum Muslimin sendiri, bukan pedang
tentara Musyrikin. Ada sebab di balik peistiwa ini.
Ketika perang Uhud, Rasulullah SAW menempatkan al-Yaman dan Tsabit bin
Waqsy di benteng bersama para wanita dan anak-anak. Keduanya memang
telah lanjut usia. Saat pertempuran tengah berkecamuk, al-Yaman berkata
kepada kawannya ini, “Ayo! Kita sudah tak berayah yang bisa membela kita
lagi. Apa yang kita tunggu! Demi Allah, usia kita sekarang sudah
seperti keledai sekarat karena kehausan. Tak lama lagi kita pasti mati,
entah hari ini atau besok. Tidakkah kita ambil pedang lalu menyusul
Rasulullah SAW.? Semoga Allah menganugerahi kita mati syahid bersama
Nabi-Nya.”
Lalu keduanya mengambil pedang dan begabung dengan pasukan tempur.
Tsabit bin Waqsy lebih beruntung dianugerahi Allah mati syahid di
tangan tentara Musyrik. Sedangkan al-Yaman, ayah Hudzaifah, bertubi-tubi
mendapat tusukan pedang tentara Muslimin. Mereka memang tidak
mengenalnya. Saat itu Hudzaifah berteriak:
“Ayah... Ayah...!!!”
Tapi tak seorangpun mendengar. Orang tua malang itu akhirnya tumbang oleh pedang sahabatnya sendiri.
Hudzaifah berdoa, “Semoga Allah mengampuni kalian. Dia Maha Pengasih.”
Rasulullah SAW sedianya hendak memberikan Hudzaifah diyat (tebusan)
ayahnya. Tetapi Hudzaifah menjawab, “Ayahku hanya menginginkan mati
syahid dan dia sudah memperolehnya. Ya Allah, saksikanlah aku sedekahkan
diyat ayahku untuk kaum Muslimin.”
Keputusannya ini menjadikannya semakin dicintai Nabi SAW.
*****
Rasulullah SAW. pernah menguji kemampuan Hudzaifah. Dari situ beliau
menemukan tiga hal dalam diri Hudzaifah: kecerdasan dalam memecahkan
masalah-masalah rumit, pemahaman yang cepat dari setiap perkataan, dan
kemampuan menyimpan rahasia.
Rasulullah memang suka
menggali potensi setiap sahabatnya sebagai sebuah strategi dakwah.
Beliau akan mendayagunakan kemampuan-kemapuan yang terdapat dalam diri
mereka. Hal ini terlihat dari strategi Nabi menempatkan orang yang tepat
pada posisi yang tepat pula.
*****
Masalah terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah adalah
keberadaan orang-orang munafik dari golongan Yahudi serta rekan-rekan
mereka. Segala macam tipu daya dan adu domba mereka lakukan terhadap
Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.
Nabi SAW memberi
tahu Hudzaifah nama orang-orang munafik ini. Ini adalah rahasia yang tak
seorang sahabat lain pun tahu. Beliau menitahkan untuk mengawasi
gerak-gerik dan kegiatan mereka demi kemaslahanan Islam dan kaum
Muslimin. Sejak itu Hudzaifah bin al-Yaman dijuluki “Penjaga rahasia
Rasulullah SAW.”
*****
Rasulullah SAW pernah
memanfaatkan bakat Hudzaifah untuk posisi yang sangat berbahaya. Posisi
yang membutuhkan kecerdasan dan kesigapan tingkat tinggi. Saat itu
adalah puncak perang Khandaq. Kaum Muslimin dikepung musuh dari berbagai
penjuru. Pengepungan berlangsung cukup lama. Para pasukan Nabi terlihat
sangat kepayahan dan nampak putus asa, tidak tahu harus bagaimana dalam
kondisi terjepit itu. Bahkan sebagian mereka sampai ada yang menyangka
yang tidak-tidak kepada Allah.
Sementara keadaan
pasukan Quraisy dan koalisinya pun tidak lebih baik dari keadaan pasukan
Muslimin di saat-saat genting itu.
Allah telah
menimpakan murka-Nya kepada pasukan kafir Quraisy, murka yang melemahkan
kekuatan dan mengguncang keyakinan mereka. Allah mengirim angin kencang
yang merobohkan tenda-tenda mereka, melemparkan semua peralatan,
memadamkan obor-obor, melemparkan kerikil-kerikil ke wajah-wajah mereka,
dan menutupi mata dan lubang hidung mereka dengan pasir.
Dalam sejarah peperangan, hampir di setiap kondisi genting, pihak yang
kalah akan merengek terlebih dahulu. Sementara pihak yang beruntung akan
mengatur diri agar mata tetap bertahan.
Pada
saat-saat seperti ini, saat-saat yang menentukan hasil akhir, memperoleh
informasi tentara musuh menjadi hal paling penting untuk segera
memprediksi dan menentukan keputusan.
Di sinilah
potensi dan pengalaman Hudzaifah bin al-Yaman dibutuhkan. Rasulullah pun
memutuskan untuk mengirimnya ke tengah-tengan pasukan musuh di
kegelapan malam, untuk memperoleh infomasi sebelum menentukan keputusan.
Mari kita dengarkan Hudzaifah menceritakan ekspedisi mautnya:
“Malam itu kami duduk berbaris,” tuturnya. “ Abu Sufyan dan kaum
Musyikin Mekkah lainnya berada di depan. Sedangkan di belakang kami
Yahudi Bani Quraizhah. Kami sangat mengkhawatirkan istri-istri dan
anak-anak kami. Malam itu benar-benar malam yang sangat mencekam
ditambah angin yang bertiup sangat kencang. Suaranya seperti halilintar.
Saking gelapnya malam, sampai-sampai kami tak bisa melihat jari-jari
tangan.
Orang-orang munafik satu per satu meminta izin kepada Rasul SAW.
“Rumah-rumah kami terancam musuh,” kata mereka. Padahal sebenanya rumah-rumah mereka tidaklah terancam.
Tak satupun izin yang ditolak oleh Nabi. Satu per satu mereka pergi
hingga yang tersisa dari kami hanya sekitar tiga ratus orang.
Di saat demikian ini, Nabi SAW berjalan mengelilingi kami. Beliau
berhenti di depanku. Saat itu tak satu pun yang dapat melindungiku dari
sengatan dingin malam selain selimut milik istriku. Itu pun tidak sampai
melindungi kedua lututku.
Beliau mendekatiku yang tengah duduk di atas tanah.
“Siapa ini?” tanya beliau.
“Hudzaifah,” jawabku.
“Hudzaifah?”
“Benar, Rasulullah.” Aku semakin tertunduk ke tanah, sungkan untuk berdiri karena rasa lapar dan dingin yang sangat.
“Ada sebuah informasi di antara kaum Musyrikin. Menyelinaplah ke
tenda-tenda mereka. Bawakan untukku informasi itu,” kata beliau.
Aku segera keluar barisan dalam keadaan sangat takut dan kedinginan.
“Ya Allah,” Nabi berdoa.”Jagalah Hudzaifah dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan bawahnya.”
Demi Allah, setelah Nabi berdoa, Allah menghilangkan rasa takut dari
dadaku dan melenyapkan rasa dingin dari badanku.
Tatkala aku berbalik badan, Rasulullah memanggilku.
“Hudzaifah,” seru beliau. “Jangan berbuat apapun sampai kau kembali kepadaku.”
“Baik,” jawabku.
Aku menyelinap masuk di antara pasukan Musyrikin. Aku menyamar seolah-olah salah satu dari mereka.
Tak lama kemudian, Abu Sufyan berdiri untuk berpidato di depan pasukan.
“Wahai Quraisy, aku ingin katakan sesuatu kepada kalian. Tapi aku takut
itu akan terdengar Muhammad. Maka, setiap orang dari kalian harus
melihat orang yang duduk di sampingnya.”
Aku langsung meraih tangan orang di sampingku.
“Siapa kau?” tanyaku.
“Aku fulan bin fulan,” jawabnya.
Abu Sufyan berpidato lagi. “Hai Quraisy! Demi Allah, kalian saat ini
tidak saat di tempat yang kekal. Ternak-ternak kita telah mati. Bani
Quraizhah telah meninggalkan kita. Kita juga ditimpa angin yang sangat
kencang seperti yang kalian lihat. Pulanglah kalian. Aku akan pulang.”
Abu Sufyan berdiri menuju untanya, melepaskan tali, menaikinya, lalu
memukulnya. Sehingga unta pun berdiri. Andai bukan karena Rasulullah SAW
menyuruhku untuk tidak berbuat apapun sampai aku kembali, tentu aku
sudah memanah Abu Sufyan.
Setelah itu aku kembali
menemui Nabi SAW. Aku mendapati beliau sedang shalat berselimut dengan
selimut salah satu istrinya. Ketika melihatku, beliau mendekatkanku
kepada dua kakinya, dan menutupi kakiku dengan ujung selimut itu. Aku
memberikan infomasi itu. Beliau sangat senang mendengarnya, dan
memanjatkan pujian kepada Allah SWT.
****
Hudzaifah tetap menjaga rahasia tentang orang-orang munafik hingga akhir
hayatnya. Para khalifah pun selalu bertanya kepadanya tentang mereka.
Sampai-sampai Umar bin al-Khathab jika ada orang Islam meninggal,
selalu bertanya, “Apakah Hudzaifah datang menyalatinya?” Jika
orang-oang menjawab ya, Umar ikut menyalatinya. Tapi jika mereka
menjawab tidak, dia ragu dan tidak ikut menyalatinya.
Pernah suatu ketika Umar bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah di antara gubernurku ada orang munafik?”
“Ada, satu,” Jawab Hudzaifah.
“Tunjukan padaku siapa dia,” pinta Umar.
“Tidak akan,” tolaknya. Tetapi Umar akhirnya memecat seorang gubernurnya. Sepetinya Umar mendapat petunjuk lain.
Barangkali sedikit orang mengetahui bahwa Hudzaifah bin al-Yaman adalah
orang yang membukakan jalan bagi kaum Muslimin menuju gerbang negeri
Nahawand, Dainawar, Hamadzan dan Ray. Dia juga yang mengusulkan
ditetapkannya satu mushaf al-Quran standar untuk menyatukan kaum
Muslimin, di saat mereka hampir berselisih mengenai kitab Allah.
*****
Meskipun begitu, Hudzaifah bin al-Yaman memiliki rasa takut yang besar kepada Allah, takut akan siksa-Nya.
Ketika sakaratul maut menghampirinya, sebagian sahabat menengoknya di tengah malam.
“Sekarang waktu apa?” Tanya Hudzaifah.
“Kita mendekati waktu subuh.” jawab para sahabat.
“Aku berlindung kepada Allah dari pagi yang mengantarkanku ke neraka,”
lirih Hudzaifah. “Aku berlindung kepada Allah dari pagi yang
mengantarkanku ke neraka.”
“Apakah kalian sudah membawa kain kafan?” tanyanya lagi.
“Ya,” jawab mereka.
“Jangan berlebihan memilih kain kafan. Jika aku punya kebaikan di sisi
Allah, aku akan dibalas dengan kebaikan pula. Tapi jika sebaliknya,
kebaikanku akan dicabut.”Pesannya.
Hudzaifah
terus-menerus berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa
aku lebih menyukai kefakiran daripada kekayaan, lebih menyukai
kerendahan daripada kehormatan, dan lebih memilih mati daripada hidup.”
Ruhnya pun terlepas, “Seorang kekasih datang membawa rindu...”
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Hudzaifah bin al-Yaman. Dia adalah sosok manusia yang langka.
(diterjemahkan oleh Arief fathur Rizqi dari Dr. 'Abd ar-Rahmaan Ri'fat al-Baasyaa, Shuwar min Hayaah ash-Shahaabah Jilid 4, Kementerian Pendidikan Kerajaan Saudi Arabia, cet. 3, 1984)