Thursday, January 31, 2013

Pakaian yang Mengikuti Sunnah

Ramadhan yang lalu, dengan aroma manis kurma yang selalu mudah saya kenang, di sebuah rumah Ustadz, saya menemukan sebuah majalah 'salaf' yang tergeletak manis di atas sofa.

Majalah yang bagus dan selalu menarik untuk menambah wawasan syar'iyah, beberapa opini dan fatwa di dalamnya acapkali membuat alis saya mengerut dan tersenyum-senyum.

Saya buka dan dalami setiap jengkal halamannya. Bagus. Menarik.
Oke, saya akan terbuka.. Majalah tersebut adalah satu eksemplar majalah Majalah Al-Furqan edisi 06 tahun Ke-10 Muharram 1432H/2010 M.

Hingga saya tiba di halaman 26...

Disana tertulis narasi seorang ustadz yang sudah sangat masyhur saya mendengarnya, beliau menulis:


"Beberapa tahun yang lewat saya mengetahui ada seorang yang kuliah di sebuah fakultas MIPA. Menariknya orang tersebut setiap kali berangkat kuliah dia berpakaian gamis ala Pakistan yang panjangnya sampai lutut plus kopiah putih di kepalanya. Kata seorang yang satu fakultas dengan orang tersebut, pakaian tersebut dia pakai selama kuliah baik di ruang kuliah ataupun di laboratorium saat sedang praktikum. Padahal tidak ada satupun orang yang berpakaian sebagaimana pakaiannya yaitu bergamis selutut dan memakai kopiah berwarna putih. Dia tidak ingin malu untuk berpakaian yang menunjukkan identitas keislamannya."


Luar biasa. Inilah tepat seperti pengalaman yang saya rasakan saat di kampus. Bahkan saya curiga, jangan-jangan fakultas MIPA yang ustadz ini maksudkan adalah Fakultas MIPA di universitas yang sama tempat saya mengambil studi S1 saya.

Beliau melanjutkan:


"Pada awalnya saya cukup kagum dengan orang tersebut karena kesiapan mentalnya yang luar biasa dalam menampakkan pakaian identitas keislaman. Wong, orang Nasrani saja tidak malu pakai kalung salib kenapa seorang muslim malu memakai pakaian yang menunjukkan identitas keislamannya."


Sampai paragraf ini, saya mulai tenggelam dengan gaya penulisannya. Dan semakin berhasrat untuk menuntaskan isi dari artikel ini hingga habis.
Saya menunggu dalil. Bagaimana pendapat ulama salaf tentang ini. Bagaimana pandangan sunnah mengenai ini.

Dan benar. Beliau pun mengutip perkataan seorang ulama:



"Pikiran dan pandangan tersebut akhirnya berubah setelah membaca perkataan Ibnul Jauzi berikut ini:

وقد كان في الصوفية من يجعل على رأسه خرقة مكان العمامة وهذا أيضا شهرة لأنه على خلاف لباس أهل البلد


Diantara orang-orang sufi ada yang meletakkan potong-potongan kain di atas kepalanya sebagai pengganti sorban (yang sudah familiar di daerahnya, pent). Ini adalah pakaian (perbuatan) syuhroh karena menyelisihi model berpakaian yang sudah familiar di daerahnya."



Syuhroh adalah sesuatu yang menonjol. Yang dimaksud dengan pakaian syuhroh adalah pakaian yang menyebabkan pemakai menjadi kondang di tengah-tengah masyarakat disebabkan warna pakaiannya menyelisihi warna pakaian yang umum dipakai masyarakat. Akhirnya banyak orang menatap tajam orang yang memakai pakaian tersebut dan pemakainya sendiri lalu merasa dan bersikap sombong terhadap orang lain. (Ibnul Atsir -sebagaimana yang dikutip oleh asy Syaukani dalam Nailul Author juz 2 hal 470)


وكل ما فيه شهرة فهو مكروه

"Semua yang menyebabkan orang yang mengenakannya menjadi bahan pembicaraan banyak orang hukumnya makruh”.

أخبرنا يحيى بن ثابت بن بندار نا أبي الحسين بن علي نا أحمد بن منصور البوسري ثنا محمد بن مخلد ثني محمد بن يوسف قال : قال عباس بن عبد العظيم العنبري قال بشر بن الحارث : إن ابن المبارك دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها في كمه

Setelah itu Ibnul Jauzi membawakan riwayat dengan sanadnya dari Bisyr bin al Harits, “Sesungguhnya Abdullah bin Mubarak pada hari Jumat masuk ke dalam sebuah masjid untuk melaksanakan shalat Jumat dalam keadaan memakai peci. Ternyata di masjid tidak ada satu pun orang yang memakai peci. Akhirnya beliau lepas peci yang beliau kenakan dan beliau sembunyikan di lengan baju beliau
[Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi hal 237, terbitan Darul Aqidah Mesir, cetakan pertama 1420 H]. "





Jujur saya terhentak dengan penulisan ini.

Dalam tulisannya, beliau menuturkan, Ada beberapa pelajaran berharga di balik keteladanan Ibnul Mubarak di atas:



Pertama, Ada ‘syuhroh’ dalam masalah tutup kepala. Oleh karena itu tidak selayak seorang muslim memakai peci putih jika seisi masjid memakai songkok hitam, memakai sorban ala Yaman (sorban khas Laskar Jihad di masa silam) padahal model pakaian semacam itu tidaklah lazim di lingkungannya, memakai syimagh ala Saudi yang berwarna putih bercampur merah jika model pakaian semacam itu belum wajar di sekelilingnya atau memakai peci ketika pergi ke kampus padahal seisi kampus tidak ada yang berpenampilan semacam ini.

Kedua, Ruang lingkup syuhrah itu tidak harus daerah yang luas. Seorang yang berpeci padahal seisi ruangan tidak ada yang berpeci terhitung telah memakai pakaian syuhrah. Seorang yang kemana-mana berjubah padahal jubah itu masih dianggap asing dan aneh di daerahnya adalah seorang yang memakai pakaian syuhrah. Sehingga tidaklah benar seorang memberikan penilaian secara general bahwa jubah bukanlah pakaian syuhrah di Indonesia. Yang tepat adalah merinci masalah ini. Boleh jadi jubah bukanlah pakaian syuhrah di sebuah kawasan pesantren dan menjadi pakaian syuhrah ketika dipakai di pasar atau di masjid kampung dan seterusnya.

Ketiga, pakaian syuhroh menurut Ibnul Jauzi hukumnya makruh, tidak haram sebagaimana pendapat sebagian ulama yang lain. adakah ulama yang menegaskan bahwa pakaian syuhroh itu dosa besar? Sejauh ini, saya belum mengetahuinya. Jika diantara ada yang memiliki ilmu tentang hal ini janganlah bakhil untuk memberikannya kepada kami.

keempat, Ibnul Jauzi tidak mempersyaratkan ‘niat untuk mencari ketenaran’ agar seorang itu dinilai melakukan larangan yaitu memakai pakaian syuhroh. Syarat yang beliau tetapkan adalah kondisi pakaian itu sendiri. jika kondisi pakaian itu sendiri menyebabkan ‘syuhroh’ alias buah bibir maka disitulah ada hukum makruh.



Untuk mengimbangi pendapat beliau ini, saya akan kutipkan secara lengkap pendapat beliau terkait gamis;

"Ada hadits yang menunjukkan bahwa model pakaian yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gamis (sejenis jubah), karena dengan gamis lebih menutup tubuh daripada memakai izar dan rida (pakaian atasan dan bawahan seperti yang dipakai orang yang sedang berihram)."


Sepanjang pengetahuan saya yang minim, redaksional hadits ini berasal dari perkataan ummu salamah yang di riwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Turmudzi dan derjat hadits ini hasan.

"Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkadang orang-orang Arab memakai izar dan rida, kadang juga memakai gamis, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyukai gamis.

Selain itu gamis terdiri hanya satu potong saja sehingga mudah dikenakan daripada memakai izar terlebih dahulu kemudian memakai rida. Meskipun demikian, seandainya Anda tinggal di satu tempat yang terbiasa memakai izar dan rida lalu Anda berpakaian sebagaimana lumrahnya masyarakat maka tidaklah berdosa. Yang penting jangan sampai menyelisihi jenis pakaian yang biasa dipakai di tengah-tengah masyarakat. Karena dengan memakai pakaian yang berbeda dengan yang dikenakan masyarakat setempat, akan terkesan lebih menonjol daripada orang disekitarnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengenakan pakaian yang menyebabkan seseorang tampak lebih menonjol daripada yang lainnya."

(Lihat Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin Cetakan Dar wathan Juz 7 hal 303)

Disini dengan terang Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin menerangkan bahwa pakaian tawadlu adalah pakaian yang wajar di tengah-tengah manusia sehingga dengan pakaian itu ia tidak ada peluang untuk membanggakan diri di hadapan manusia di sisi lain merekapun tidak tersakiti hati mereka dengan pakaian yang kita kenakan.

Saya pun pribadi sepakat dengan pendapat syeik utsaimin  dalam Syarah Riyadhus Shalihin Cetakan Dar wathan Juz 7 hal 303 yang senada dengan ini, tatkala para sahabat menaklukkan berbagai negeri, mereka mengenakan pakaian sebagaimana pakaian masyarakat setempat. Hal tersebut bertujuan supaya tidak tampil beda dan menjadi bahan gunjingan banyak orang. Jika kita memakai pakaian yang tampil beda maka masyarakat akan mengatakan si A itu  dan demikian atau bahkan jadi bahan guyonan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya untuk mengenakan pakaian yang menyebabkan popularitas.” (lihat HR. Ahmad no. 5631, Abu Dawud no. 4029, dan lain-lain. Hadits ini dihasankan oleh Imam al-Mundziri dan al-Ajluni).

Di akhir artikel ini, beliau menuliskan:
…Jadi, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan karena mengikuti tradisi masyarakat setempat itu dianjurkan jenis perbuatannya dan bukan modelnya. (Syarh Nadzam al-Waroqot karya Syaikh Utsaimin hlm. 149-150, terbitan Dar Ibnul Jauzi, Arab Saudi, cetakan pertama, 1425 H)


syukran jazakallah kepada ustadz Aris Munandar atas setiap penjelesannya.

No comments:

Post a Comment