Monday, September 30, 2013

Pemuda Riau dengan wangi selembut angin

"Menjadi (seorang) Rojuludda'wah, ente harus kuat."

(Alm. Ust Abdul Gani Fani, 1987-2013)

Bismillah.
Mungkin memang saya bukan sahabat terdekatnya.
Mungkin memang saya tak begitu mengenalnya.
Tapi percayalah, tak ada kenangan yang saya miliki dari diri beliau selain orangnya baik sekali.

Ba'da sholat shubuh pagi ini, saya mendapatkan pesan di WhatsApp dari nomor tak dikenal bahwa beliau telah wafat.
Sama halnya, jika mendapatkan berita duka, air mata saya meleleh.
Selang tak berapa lama, saya berlari menuju pancuran. Makanan Sahur saya keluar kembali.
Belum setengah jam makanan itu ada di lambung, ini menandakan rapuhnya perasaan saya dikarenakan memori saya tentang beliau.

Saya mengenalnya diawal tahun 2012. Kami bertemu di masjid. Kontrakan kami memang bertentangga saat itu.
Wajahnya gempal badannya besar. Sikapnya kebapakan sekali.
Seorang kawan, pernah berujar; "Bagaimana mungkin engkau bisa mengenalnya? Padahal dia selalu membiasakan dirinya berkomunikasi dengan bahasa Arab?" Langsung kujawab; "Yah, dengan orang yang tak bisa bahasa Arab, tentu ia memakai bahasa Indonesia." :D
Pertanyaan yang menarik sekali.

Singkat kata kami akrab.
Bagaimana mungkin tidak akrab, Sejak saat itu beliau datang rutin di shubuh hari ke pintu kontrakan untuk memastikan kami sudah bangun dan siap melaksanakan sholat shubuh berjama'ah di masjid.
Saya tak berlebihan, beliau datang rutin di shubuh hari ke pintu kontrakan kami, memastikan mata kami sudah terbuka dan segera bergegas lagi ke masjid untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyah.
Mungkin itu puncak-puncaknya di usia saya, saya tak putus sholat shubuh berjama'ah di masjid.

Tak lama setelah terbit fajar, terkhusus akhir pekan, dia akan kembali ke depan kontrakan saya lengkap dengan sepatu model lama dan celana santai cingkrang se-betis. Memaksa Lari pagi.
"Ente menyiksa ane, Gani." keluh saya ditengah salah satu sebuah sesi sit up 30 kali setelah saya dengan terseok-seok berhasil mengejar beliau mengelilingi mal pejaten village.
Dia tertawa. Dan hanya berkata; "Menjadi (seorang) Rojuludda'wah, ente harus kuat."
Saya pun ikut tertawa.

Setelah tak berhasil memaksa saya push up, akhirnya kami pendinginan. Dan pada saat itulah ia bercerita mengenai hidupnya, keluarganya, dan mimpi-mimpinya.
Ia bercerita bahwa ia sudah menikah.
Ia bercerita bahwa ia sangat bahagia dengan pernikahannya.
Ia bercerita mengenai saudara perempuannya yang menempuh kuliah pendidikan matematika.
Ia bercerita mengenai kemampuannya dalam komputer yang ia dapati di kuliah sebelumnya.
Ia bercerita tentang Riau, sebuah negeri yang hanya dapat saya bayangkan dari senyumnya.
Ia bercerita mengenai LIPIA, dan pentingnya belajar bahasa Arab. Beliau memotivasi saya.

"Apakah ente memiliki mimpi untuk bisa kuliah di Madinah (Univ Islam Madinah), Gani?" tanya saya polos, suatu hari.Dia tersenyum. Dia sudah merasa amat bersyukur sekali bisa kuliah di LIPIA. Begitu kurang lebih jawabanya.

Pernah pada suatu saat. Dia membawa bayi perempuannya ke kontrakan.
Tentu saya orang yang paling antusias. Sikapnya kebapakan sekali. Coba bayangkan, dirinya berjalan sendiri saja sudah seperti bapak-bapak. Apalagi saat beliau membawa bayi. :)
Beliau sayang sekali dengan putrinya. Dan saya berhasil menggendongnya walau sebentar.

Satu hal lagi yang saya ingat dari beliau.
Sholat ba'diyah maghrib dan isya-nya jauh lebih lama dari sholat fardhunya. ^^
Dan ini jelas sangat menarik. Saya terkadang membeli minuman ringan dari warung belakang masjid, lalu menontonya sholat dari belakang. Senyum saya merekah saat marbot masjid sudah terlampau kesal menunggu beliau selesai dan akhirnya pulang mematikan lampu meninggalkan beliau sendiri dalam kegelapan. :))

Beliau orang yang santun.
Berkali-kali ia minta maaf saat ia sedang mengobrol dengan kawannya memakai bahasa Arab padahal ada saya disana. Saya sampaikan kepadanya, saya tak apa-apa.
Banyak kosakata baru yang saya dapatkan dalam bahasa arab yang dari beliau di kontrakan.
Seperti; "Shollu... Shollu...!! Kum...!! Kum...!!!" (artinya: Sholat... Sholat.... Bangun... Bangun....!!)

:P

Kami tak pernah makan bersama. Saya mengira ini dikarenakan beliau lebih mengutamakan istrinya di kontrakan beliau sendiri, dan makan bersamanya. :)

Akhir tahun 2012, saya telah menyelesaikan studi dan tugas akhir saya.
Dan ini artinya satu hal; saya akan di wisuda bulan Februari 2013.
Ini adalah akhir kesempatan kami bertetangga, tak lama dari itu saya pindah ke rumah orangtua saya dan mulai bekerja, sibuk dengan dunia saya sendiri.
Sejak saat itu saya jarang bertemu dengan beliau.

Bulan Mei 2013, beliau mengundang saya ke Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah, tempat beliau mengajar di bogor, saya menginap disana 2 hari 1 malam. Pengalaman menyenangkan yang tak terlupakan.

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengekspos pribadinya, tapi tulisan ini lahir sebagai bentuk keegoisan perasaan saya, agar saya dapat membacanya dikemudian hari karena saya telah berazzam untuk tidak akan melupakan segala hal baik tentang beliau.

Ustadz Abdul Gani Fani, wafat karena leukemia akut pada dini hari (sebelum pukul 1) tanggal 27 Juli 2013 di Rumah Sakit Ibnu Sina Pekanbaru, Riau. Beliau meninggalkan seorang putri kecil dan seorang istri yang sekarang sedang hamil 8 bulan... Bagi segenap saudara dan sahabat mohon do'a untuk kemudahan dan segala kebaikan keluarga yang ditinggalkan...




Ana uhibbuka fillah, ustadz Gani. Jakarta, 18 Ramadhan 1434 H - 27 Juli 2013 M








No comments:

Post a Comment